Mesuji, MERATA.ID – Pengacara publik Gindha Ansori Wayka menyatakan akan mengambil langkah hukum tegas terhadap dugaan perampasan aset yang menimpa dua kliennya, Pingi Sudarsono dan Patonah—pasangan suami istri yang merupakan nasabah PT. Bank Rakyat Indonesia (Persero) Tbk Unit Brabasan.
Rumah milik pasangan tersebut yang menjadi agunan pinjaman diduga telah dipaksa dikosongkan oleh oknum pegawai BRI bekerja sama dengan seseorang yang mengatasnamakan LSM berinisial DD, tanpa melalui prosedur hukum yang sah.
“Ini bukan hanya pelanggaran administratif, tapi perbuatan melawan hukum yang merampas hak klien kami sebagai warga negara. Kami akan tempuh jalur hukum perdata dan tak menutup kemungkinan pidana terhadap oknum-oknum yang terlibat,” tegas Gindha saat memberikan keterangan di Bandar Lampung, Kamis, 22 Mei 2025.
Kronologi Perkara
Gindha menjelaskan bahwa kasus bermula pada tahun 2020 ketika kliennya mengambil pinjaman sebesar Rp200 juta dari Bank BRI Unit Brabasan dengan tenor tiga tahun. Namun akibat pandemi Covid-19, pada tahun 2021 dan 2022 dilakukan dua kali restrukturisasi. Angsuran yang semula Rp5 juta per bulan berubah menjadi Rp2,5 juta per bulan, dan masa pinjaman diperpanjang menjadi lima tahun.
Pada November 2024, ketika kliennya mengalami keterlambatan angsuran, tiba-tiba rumah yang menjadi jaminan didatangi oknum pegawai BRI bersama DD. Mereka memaksa Pingi dan Patonah mengosongkan rumah dengan dalih bahwa rumah tersebut telah dilelang, dan DD disebut sebagai pemenangnya. Padahal, menurut Gindha, tidak pernah ada proses lelang yang sah secara hukum.
“Klien kami dalam tekanan, akhirnya terpaksa menandatangani surat pengosongan rumah. Tapi tidak ada pemberitahuan lelang, tidak ada putusan pengadilan. Ini bentuk pemaksaan dan manipulasi,” ujar Gindha, pengacara yang dikenal vokal membela hak rakyat kecil.
Aset Dijual Diduga Secara Ilegal
Lebih lanjut, berdasarkan informasi yang diperoleh pihaknya, rumah milik kliennya tersebut ternyata telah dijual oleh DD kepada pihak lain. Ironisnya, transaksi itu dilakukan di rumah Kepala Desa setempat, tanpa dokumen lelang atau penetapan hukum apapun.
“Inilah akar masalahnya. Rumah yang menjadi jaminan itu berpindah tangan secara tidak sah. Ini bukan hanya merugikan klien kami secara materiil, tapi mencoreng sistem hukum kita,” katanya.
Digugat Setelah Rumah Disita
Yang membuat kasus ini semakin janggal, pada April 2025 atau tujuh bulan setelah rumah dikosongkan, justru kliennya menerima gugatan sederhana dari pihak Bank BRI. Gugatan dengan register perkara 02/Pdt.G.S/2025/PN Mgl dilayangkan oleh JZ (Kepala Unit BRI Brabasan), MKC (Mantri BRI), serta Ak dan FA MS dari Kantor Cabang BRI Tulang Bawang.
Namun dalam sidang lanjutan yang digelar di Pengadilan Negeri Menggala pada 19 Mei 2025, pihak BRI mencabut gugatan tersebut melalui surat resmi bertanggal 16 Mei 2025.
“Gugatan dicabut setelah rumah klien kami sudah dijual. Ini semakin memperjelas bahwa ada tindakan melawan hukum yang coba ditutupi. Kami tidak akan tinggal diam,” tegas Gindha.
Siapkan Gugatan Perbuatan Melawan Hukum
Melihat kejanggalan demi kejanggalan dalam proses pengosongan hingga dugaan jual beli ilegal agunan tersebut, Gindha dan tim hukumnya telah menyusun langkah hukum lanjutan.
“Kami sedang mempersiapkan gugatan perbuatan melawan hukum terhadap oknum-oknum yang terlibat, baik dari pihak internal BRI Unit Brabasan maupun DD yang mengaku sebagai pemenang lelang. Kami juga membuka opsi melapor ke OJK, Komnas HAM, hingga ke ranah pidana jika diperlukan,” tegas Gindha.
Dalam kasus ini, Gindha Ansori tidak sendirian. Ia didampingi oleh tim kuasa hukumnya dari Kantor Hukum Gindha Ansori Wayka & Rekan, yaitu: Iskandar, Ari Fitrah Anugrah, Ronaldo, Desi Liyana Ningsih, Ramadhani, Ana Novita Sari, Angga Andrianus, dan Deni Anjasmoro.
“Ini bukan hanya tentang satu rumah, ini tentang keadilan yang diinjak-injak oleh kekuasaan yang tak bertanggung jawab. Kami akan bawa ini sampai terang-benderang di hadapan hukum,” pungkas Gindha, mantan Ketua Himpunan Mahasiswa Hukum Pidana FH Unila yang dikenal gigih memperjuangkan hak masyarakat kecil. (*/Red)