Makkah, MERATA.ID – Di antara jutaan wajah yang menengadah ke langit, di tengah samudera manusia yang menangis di hadapan Ka’bah, Tuhan menulis sebuah kisah kecil—tapi penuh makna besar.
Hari itu, Jumat yang khusyuk di Tanah Suci. Yudhi Hasyim, Wakil Ketua Ikatan Wartawan Online (IWO) Lampung, berdiri di pelataran Masjidil Haram. Angin gurun yang hangat menyentuh wajahnya, dan denting adzan menggema laksana panggilan dari langit. Ia bersiap untuk menunaikan salat Jumat, tanpa tahu bahwa sebuah kejutan surgawi tengah menantinya.
Saat ia masuk ke dalam saf dan menundukkan kepala, matanya menangkap sosok yang tak asing. Di sampingnya, berdiri seseorang yang selama ini hanya ia temui di rapat-rapat organisasi, dalam dunia yang penuh kesibukan dan dinamika profesi: Yudhistira, Ketua Umum IWO.
Tidak ada janjian. Tidak ada rencana. Tapi mereka dipertemukan… di hadapan Baitullah, dalam satu saf, satu arah, satu Tuhan.
“Saya terdiam. Dada saya bergetar. Itu bukan kebetulan. Itu takdir dari Allah,” tutur Yudhi, lirih, dengan mata yang tak sanggup membendung air mata, Jumat (30/5/2025).
Mereka berdiri bersisian. Dalam balutan kain putih ihram yang sama, mereka sujud dalam kesederhanaan yang menyatukan derajat. Tak ada Ketua. Tak ada Wakil. Yang ada hanya dua hamba yang datang dari tanah jauh… memenuhi panggilan Tuhan.
Panggilan Langit yang Tidak Pernah Salah Alamat
Sementara itu, ribuan jamaah haji Indonesia bersiap menuju Arafah, tanah wukuf, tempat di mana doa-doa mengguncang Arsy. Dalam satu kesempatan, Ustaz Abul Malik, Lc., menyampaikan tausiyah yang membuat hati para jamaah terenyuh.
Ia mengisahkan kembali momen ketika Nabi Ibrahim AS diperintahkan oleh Allah untuk menyeru umat manusia agar datang berhaji.
“Wahai Rabb-ku, bagaimana mungkin aku menyeru seluruh umat manusia?” tanya Ibrahim. Dan Allah menjawab, ‘Serulah saja. Aku yang akan menyampaikan seruanmu kepada hati mereka.’”
Seruan itulah yang kini menggema ribuan tahun kemudian. Seruan yang merambat bukan lewat suara, tetapi melalui getaran jiwa. Dan siapa pun yang hatinya tergetar, maka ia adalah tamu yang telah ditetapkan oleh Allah sendiri.
Menuju Arafah: Saat Jiwa Menyentuh Tanah Ampunan
Petugas haji telah mengatur skema keberangkatan. Tapi ini bukan sekadar perjalanan logistik—ini adalah perjalanan kembali ke asal penciptaan. Dari hotel menuju Arafah, dari dunia menuju langit.
“Yang diberangkatkan pagi akan standby jam 10, lainnya siang. Tapi semua akan berkumpul di padang suci Arafah. Karena di situlah, Allah menanti doa-doa yang paling jujur,” ujar Ustaz Abul Malik.
Di Arafah, jamaah diminta tidak sekadar hadir. Mereka diminta membawa hati yang ingin sembuh, membawa luka yang ingin diampuni, membawa cinta yang ingin disucikan kembali.
Doa-doa yang Membelah Langit
Arafah bukan tempat biasa. Di sanalah langit terbuka. Di sanalah para malaikat turun membawa kabar baik bagi hamba yang bersujud dengan air mata.
“Berdoalah… Doakan anak-anak kalian. Doakan rumah tangga kalian. Mohonkan ampun atas hidup yang belum sepenuhnya taat. Di sinilah tempatnya,” kata sang ustaz dengan suara yang menggetarkan tenda-tenda doa.
Mina dan Jumrah: Melontar Dosa, Melepaskan Nafsu
Perjalanan dilanjutkan ke Muzdalifah, lalu ke Mina untuk melontar jumrah. Bukan hanya melontar batu. Tapi melontar kesombongan, keangkuhan, dan kerakusan yang selama ini bersemayam dalam dada.
Bagi jamaah yang lanjut usia atau memiliki keterbatasan fisik, kemudahan disediakan. Karena Tuhan tidak menilai kuat atau lemahnya tubuh, tapi seberapa lurus niat dan tunduknya hati.
Cuaca Panas, Tapi Hati Harus Tetap Sejuk oleh Iman
Makkah sedang panas. Suhu tinggi, debu beterbangan, dan lautan manusia menyatu dalam padatnya rukun Islam kelima. Tapi para petugas kesehatan dengan lembut berpesan:
“Lindungi dirimu. Pakai masker, cukupkan minum, jangan paksakan raga. Karena ibadah yang Allah terima adalah yang disertai dengan menjaga amanah tubuh.”
Sampai Ka’bah Bukan Akhir, Tapi Awal Kembali pada Allah
Haji bukan sekadar perjalanan ke Tanah Suci. Ia adalah perjalanan kembali kepada Allah. Bukan hanya sampai ke Ka’bah, tapi sampai ke kesadaran terdalam bahwa hidup ini adalah titipan, dan semua akan pulang kepada-Nya.
Pertemuan Yudhi dan Yudhistira menjadi simbol kecil dari kisah besar yang Allah tulis. Bahwa takdir itu hidup, dan Dia mempertemukan manusia bukan dengan rencana manusia, tapi dengan rencana langit.
Sebagaimana penutup penuh makna dari Ustaz Abul Malik:
“Yang penting bukan hanya sampai ke Ka’bah… tapi apakah hati kita juga sampai—kembali dan bersujud kepada Allah yang Maha Penyayang.”