Oleh: Maulana Riansah Ansyori
Dulu, namanya disebut dengan hormat di seluruh penjuru istana. Ardana, sang pengawal utama kerajaan, berdiri gagah di sisi raja, tak pernah goyah dalam tugas maupun keyakinan. Tubuhnya tegap, sorot matanya tajam, dan kesetiaannya tiada dua. Dalam setiap pertempuran, ia selalu di barisan depan—mengayunkan pedang untuk melindungi raja dan tanah air.
Semua lawan gentar mendengar namanya. “Ardana Si Perisai Raja,” begitu mereka memanggilnya. Ia bukan hanya prajurit, tapi simbol kekuatan, kepercayaan, dan keberanian. Namun, sebagaimana pagi yang pasti menjelang malam, kejayaan pun tak abadi.
Ardana yang pernah menjadi simbol kekuatan dan kesetiaan. Dalam bayang kejayaan itu, tumbuh bibit kebencian dari rakyat dan para bangsawan. Bukan karena kelemahannya, melainkan karena kedekatannya yang terlalu besar dengan raja.
Raja mempercayainya lebih dari siapa pun—lebih dari menteri, lebih dari panglima, bahkan lebih dari keluarganya sendiri. Ardana diberi kuasa luas: memimpin pasukan khusus, menyaring penasihat, hingga mengeksekusi keputusan tanpa harus melalui dewan.
Dalam diam, kerajaan berubah menjadi bayang Ardana. Satu demi satu tokoh yang tak sepaham disingkirkan atas nama “keselamatan raja.”
Namun kuasa besar menumbuhkan kesombongan. Ardana, yang dulunya rendah hati, mulai menganggap dirinya pilar tunggal kerajaan. Ia tak lagi mengawal, melainkan mengatur. Banyak keputusan penting dibuat atas bisikannya. Para bangsawan geram. Rakyat mulai berbisik—bahwa raja hanyalah boneka, dan kerajaan kini dikawal oleh bayang-bayang gelap bernama Ardana.
Ketika sebuah provinsi memberontak akibat pajak tinggi yang Ardana tetapkan demi memperkuat garnisun pusat, rakyat mulai turun ke jalan. Mereka tak menyebut nama raja. Yang mereka maki adalah “pengawal keparat itu.” Nama Ardana jadi momok. Lukisan dirinya dibakar. Patungnya dirubuhkan. Rumah keluarganya dilempari batu.
Raja berdiri di tengah badai, namun tetap membela Ardana. Ia bersumpah tak akan melepaskan sahabat yang telah menyelamatkannya dalam puluhan perang. Tapi itulah kesalahan fatalnya.
Desakan demi desakan datang. Hingga akhirnya, pada hari yang kelam, para penasihat utama menyampaikan ultimatum: “Jika Ardana tidak dibuang, maka kami—dan rakyat—akan menurunkan tuanku dari takhta.”
Raja memilih Ardana. Maka raja pun jatuh.
Rakyat merangsek masuk ke istana. Dewan mengangkat pengganti. Raja diasingkan, dan Ardana menghilang, konon melarikan diri ke pegunungan utara. Namanya kini menjadi lambang pengkhianatan, bukan lagi kesetiaan.
Ironis, ia mengabdi demi kerajaan. Tapi dalam kesetiaan yang membabi buta, ia menjadi racun. Dan ketika raja jatuh, Ardana pun ikut tenggelam dalam lumpur sejarah—bukan sebagai pahlawan, tapi sebagai bayangan yang menjatuhkan takhta.