Oleh : Maulana Riansah Ansyori
Tahun 2007, pertama kalinya aku menapakkan kaki di Kota Bandar Lampung. Kota ini asing, tapi arahan orang tua membuatku menjejakkan langkah pertama di perempatan lampu merah Way Halim. Dari sana, aku naik ojek menuju rumah sanak saudara di Tanjung Senang.
Sebagai anak kelahiran dan besar di Jakarta, aku pikir hidup di Lampung takkan jauh berbeda. Hiruk pikuk ibu kota, jam malam yang longgar, dan obrolan hingga subuh bersama teman, adalah gaya hidup yang terbentuk sejak remaja. Tapi ternyata, Lampung punya detaknya sendiri—lebih lambat, lebih sunyi.
Tinggal di rumah Tante yang bersuamikan orang Sunda dan memiliki tiga anak, suasana rumah terasa hidup, setidaknya di siang hari. Tapi begitu malam tiba, keheningan membungkus Tanjung Senang. Setelah Maghrib, jalanan seperti ditelan malam. Sepi. Mati. Bagai kuburan. Rasa rindu akan Jakarta makin kuat, membuatku murung di kota yang katanya menjanjikan masa depan lewat pendidikan ini.
Melihat keadaanku, Tante berinisiatif menyuruh anaknya mengantarku ke rumah Paman di Perumnas Way Halim. Meski awalnya malu, ternyata kunjungan ini mengubah segalanya. Indra, sepupu sekaligus tour guide dadakan, memperkenalkanku pada sebuah tempat yang akhirnya mengubah cara pandangku terhadap Bandar Lampung: PKOR.
Awalnya, PKOR tak terlihat istimewa. Lapangan luas, pedagang yang sedang sibuk menyusun kursi plastik, dan suasana yang biasa saja. Tapi seiring malam menebal, PKOR berubah. Motor-motor meraung, aksi freestyle dan balap liar meramaikan langit malam. Tawa anak muda, suara knalpot bersahutan, dan aroma jagung bakar memenuhi udara. Malam itu, untuk pertama kalinya, aku merasa hidup di kota ini.
Hari-hari berikutnya, PKOR menjadi pelarian dari sunyinya malam Lampung. Bahkan setelah kuliah dimulai, PKOR tetap jadi magnet. Di sanalah aku dan teman-teman menghabiskan waktu, bukan sekadar nongkrong, tapi menyatu dalam riuhnya kota yang mulai kurasakan denyutnya.
PKOR bukan sekadar tempat—ia adalah simbol. Tempat bertemunya anak-anak muda dari penjuru kota, ruang bebas ekspresi, dan lapak-lapak kecil yang menyambung napas UMKM. Jagung bakar pedas manis, teh hangat, dan aksi liar di atas dua roda adalah bagian dari romansa yang tak bisa dibeli di mall atau cafe mahal.
Namun semua berubah ketika pandemi datang. Tahun 2020, aku kembali ke Lampung setelah pekerjaan di Jakarta terhenti. Dalam upaya menghibur diri, aku kembali ke PKOR. Tapi yang kutemukan bukan lagi tempat yang sama.
PKOR kini punya palang berbayar di pintu masuk. Jalanannya rusak. Tak ada lagi suara knalpot atau aksi memacu adrenalin. Yang ada hanya kereta mini untuk anak-anak, mobil-mobilan, dan suasana yang seperti ditidurkan paksa oleh waktu. Tak ada lagi PKOR seperti yang dulu ku kenal. Tak ada lagi tempat untuk pulang.
Bandar Lampung hari ini berubah. Hiburan malam menjamur, lampu-lampu neon menerangi tempat yang menyajikan minuman keras. Tapi suasana akrab, murah meriah, penuh nostalgia seperti PKOR dulu—hilang.
Kota ini tumbuh, tapi kehilangan jiwa.
Kini aku lebih sering di rumah. Sesekali ke pantai di Pesawaran, atau mancing ke Lampung Selatan. Tapi dalam hati, aku selalu mencari PKOR yang dulu. Tempat yang membawaku jatuh cinta pada kota ini. Tempat yang membuatku bertahan.
Andai saja ada ruang baru untuk para pemuda. Andai saja nostalgia bisa dibangun kembali, bukan dihapus. Karena tidak semua orang ingin hiburan yang gemerlap. Beberapa dari kami hanya ingin tempat yang sederhana, tapi hidup. Seperti PKOR dulu. (MRA)