Oleh : Amri Alfarisi
Setiap tanggal 21 Mei, lini masa saya selalu dipenuhi nostalgia. Gambar mahasiswa memanjat pagar DPR, kepulan gas air mata, dan orasi-orasi lantang di pelataran Senayan kembali berseliweran. Hari ini adalah peringatan Reformasi—momen penting dalam sejarah ketika rakyat Indonesia bersatu menyuarakan satu kata: cukup.
Saya lahir tahun 1997. Ketika Reformasi pecah di 1998, usia saya belum genap setahun. Menghafal Pancasila saja belum bisa, apalagi meneriakkan “Turunkan Soeharto!” seperti para mahasiswa saat itu. Tapi kisah perjuangan mereka tidak hilang. Saya pelajari dari buku, diskusi kampus, dan dokumenter yang kadang lebih menyentuh daripada sinetron di televisi.
Sebagai kader Karang Taruna di Kabupaten Lampung Selatan, saya cukup akrab dengan isu-isu kepemudaan, pembangunan desa, dan rapat-rapat yang selalu ditemani gorengan dan aroma kopi. Namun, di tengah semua aktivitas itu, saya kerap bertanya: ke mana semangat reformasi yang dulu begitu membara?
Sekarang, banyak anak muda lebih hafal nama selebgram daripada menteri. Jari-jemari lebih sibuk menggulir TikTok daripada membuka portal berita. Dulu, turun ke jalan adalah bentuk perlawanan. Kini, protes bisa jadi hanya muncul ketika sinyal WiFi sedang buruk.
Tentu, tidak semua anak muda seperti itu. Masih banyak yang aktif, kritis, dan peduli. Tapi tak bisa dipungkiri, kita sedang hidup dalam era serba instan. Segalanya ingin cepat, mudah, dan viral. Bahkan untuk urusan minuman pun, kopi instan lebih dipilih: tinggal sobek, seduh, selesai. Praktis, tapi efeknya kadang tak baik dalam jangka panjang.
Padahal, semangat reformasi sejatinya adalah semangat memperbaiki diri dan sistem secara berkelanjutan. Bukan sekadar mengganti pemimpin, melainkan mengubah cara berpikir. Reformasi bukan hanya kenangan, tapi juga peringatan—agar kita tak abai terhadap demokrasi, partisipasi, dan kesadaran kolektif.
Sebagai pemuda, peran kita sangat penting. Kita bukan hanya penerus, tapi juga penjaga nalar bangsa. Jika bukan kita yang menjaga nyala semangat reformasi, siapa lagi?
Masa depan terlalu berharga jika hanya diwariskan dalam bentuk joget, tren sesaat, dan tantangan viral. Reformasi bukan hanya milik pejuang 1998. Ini adalah tanggung jawab kita hari ini—untuk memastikan perjuangan itu tetap hidup.
Mulailah dari hal kecil: berdiskusi dengan sehat, ikut berorganisasi, terlibat dalam kegiatan sosial, dan peduli terhadap sekitar. Perubahan tak perlu tergesa. Biarlah kita racik pelan-pelan, seperti kopi tubruk yang butuh waktu dan ketelatenan—bukan seperti kopi instan yang manis di awal, namun getir di akhir.