Bandar Lampung, MERATA.ID — Sebuah bangunan tiga lantai berdiri mencolok di tepi Jalan Sultan Agung, Way Halim, Bandar Lampung. Meski status pelanggarannya sudah jelas, proyek ini terus berjalan seolah aturan kota tak berlaku.
Bangunan yang disebut-sebut milik Defilson, dan akan difungsikan sebagai kostel, terus dikerjakan meski Pemerintah Kota sudah mengeluarkan surat larangan hingga instruksi pembongkaran.
Pantauan sejak Senin hingga Rabu (21–23 Juli 2025) menunjukkan bahwa aktivitas konstruksi tetap berlangsung. Para pekerja tampak melanjutkan pembangunan tanpa hambatan, bertolak belakang dengan status bangunan yang dinyatakan melanggar ketentuan tata ruang.
Kepala Dinas Perumahan dan Permukiman (Perkim) Kota Bandar Lampung, Yusnadi Ferianto, menyatakan bahwa bangunan tersebut terbukti melanggar Garis Sempadan Bangunan (GSB).
Lokasinya terlalu dekat dengan badan jalan, jauh dari ketentuan dokumen Persetujuan Kesesuaian Kegiatan Pemanfaatan Ruang (PKKPR) yang mewajibkan GSB minimal 22 meter.
“Sudah tiga kali kami surati. Mereka awalnya bilang akan bongkar sendiri. Tapi sampai sekarang, tidak ada tindakan,” ujar Yusnadi saat ditemui di ruang kerjanya.
Yusnadi menegaskan, pelanggaran tersebut bertentangan dengan berbagai regulasi, termasuk Peraturan Daerah RTRW Nomor 10 Tahun 2011 dan Peraturan Menteri PUPR Nomor 20 Tahun 2021.
Ia menjelaskan bahwa saat Persetujuan Bangunan Gedung (PBG) diterbitkan awal 2024, lahan masih kosong. Pelanggaran baru terdeteksi saat struktur bangunan mulai naik.
“Kami tidak pernah menyuruh orang melanggar. PBG-nya sah, tapi bangunannya ternyata menyimpang dari ketentuan. Kalau begitu siapa yang salah, coba,” katanya dengan nada mempertanyakan.
Sementara itu, pihak pelaksana di lapangan justru menyampaikan versi berbeda. Ali Heri, yang mengaku sebagai penanggung jawab material bangunan, membenarkan bahwa Dinas Perkim sudah melakukan pengukuran. Ia menyebut adanya semacam “kesepakatan” antara dinas dan pemilik bangunan untuk mengurangi pelanggaran.
“Iya, waktu itu sudah diukur. Ketemu jarak 9 meter. Tapi katanya cukup dikurangi 1 meter biar jadi 10 meter,” ungkap Ali.
Pernyataan ini mengindikasikan adanya dugaan kompromi teknis di lapangan yang justru makin menambah kabut persoalan. Di satu sisi, dinas menyatakan telah memberikan peringatan keras. Namun di sisi lain, pihak pelaksana menyebut ada komunikasi yang berujung pada pelonggaran syarat.
Langkah lanjutan, menurut Yusnadi, akan diputuskan melalui rapat teknis penertiban pada awal Agustus. Jika pemilik tetap membandel, Pemkot akan mengambil tindakan tegas.
“Kalau tidak dibongkar sendiri, kami yang bongkar. Tapi ya, ini lintas OPD, jadi perlu koordinasi,” pungkasnya.