Oleh: Penta Peturun (Staf Khusus Menteri Ketenagakerjaan RI)
Asap gas air mata, jerit mahasiswa, suara tembakan peringatan, dan mobil barak kuda polisi yang berderak di jalanan Jakarta pada Mei 1998 adalah potongan sejarah yang masih hidup di dada Immanuel “Noel” Ebenezer. Mahasiswa 20 tahun itu diseret dari jalan protokol, pelipisnya dihantam popor, tulang punggungnya ditekuk oleh lengan aparat, dan tubuhnya digelindingkan ke dalam truk besi yang bau karat dan keringat.
Di dalam gelap itulah lahir sumpah yang kelak akan membentuk langkah-langkahnya,“Jika kuasa suatu hari menyentuh tanganku, jangan biarkan ia menjadi tangan yang memukul.” Sejak itu, luka Noel bukan hanya bekas, tapi kompas. “Luka adalah tempat cahaya masuk.” Noel menjadikan derita sebagai lentera, bukan bara dendam.
*Getir Pasca Reformasi: Ojol, Akta Nikah, dan Sedekah Rahasia*
Reformasi membawa ruang bersuara, tetapi tidak selalu membawa ruang bernapas. Antara 1997–2000, lebih dari 4,5 juta buruh kehilangan pekerjaan (BPS). Noel selama menjadi aktivis mahasiswa ’98 nyaris putus kuliah dari Institut Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (IISIP) Jakarta, tapi lulus dari Universitas Satya Negara (2004). Kesibukan diluar kampus mendampingi korban PHK, kaum miskin kota korban ketidka adilan. Namun idealisme tak selalu bisa menutup kebutuhan dapur.
Ia pun menjadi pengemudi Grab, bahkan sampai akta nikahnya dijadikan jaminan untuk mempertahankan akun aplikatornya. Dari jok motornya, Noel menyaksikan wajah getir para pekerja gig, jam kerja panjang, algoritma yang buta rasa, dan ketiadaan perlindungan hukum.
Meski dalam kondisi apapun ada sisi humanis dari Noel. Suatu malam, seorang bapak yang tak dikenalnya menelepon, suaranya gemetar meminta bantuan untuk membeli beras. Noel tidak menanyakan nama, alamat, atau niat. Ia langsung menelepon kasir Alfamart terdekat dan membayar kebutuhan pokok bapak itu. “Perut lapar harus diisi; soal siapa dia, biarlah jadi urusan Tuhan,” ujarnya. Bagi Noel, sedekah bukanlah panggung, melainkan napas sunyi.
*Maaf untuk Lawan, Tegas untuk Keadilan*
Kepada orang yang dulu menghina dan menderanya dengan lapang dada di selalu membuka pintu maaf. Kepada polisi yang memukulnya pada 1998, Noel memberikan penyataan pada pidato sambutan sertifikasi untuk polisi di Mako Bribom, Kelapa Dua, Jakarta, pada 22 Juli 2025, ia berkata: “Polisi hakikatnya adalah pagar demokrasi, bukan palu kekuasaan.” Namun kelembutan itu tidak berarti lemah.
Tahun 2022, ketika Munarman, eks Sekretaris Umum FPI diadili atas kasus terorisme, Noel hadir sebagai saksi meringankan. Tindakannya menuai kritik dan berujung pada pencopotan dari posisi Komisaris Utama PT Mega Eltra (BUMN). Ia tetap berdiri dengan satu prinsip, “Keadilan hukum tak mengenal kawan dan lawan. Hak bicara di pengadilan harus dijaga, meski itu berarti saya kehilangan jabatan.” Noel percaya, maaf bisa menyembuhkan luka, tetapi ketidakadilan harus dilawan, bahkan jika itu menuntut pengorbanan.
*Turun Sidak: Menghapus Luka Struktural*
Sidak ke UD Sentoso Seal milik Jan Hwa Diana Owner di kompleks Pergudangan Margomulyo Suri Mulia Permai Blok H-14, Surabaya 20 April 2025 menjadi hari yang menggema. Juga, Noel turun ke PT Sanel Tour & Travel, Pekanbaru, setelah menerima laporan dua belas mantan karyawan yang ijazahnya ditahan selama enam tahun. Dengan suara tegas ia berkata, “Ijazah adalah hak, bukan borgol. Negara tidak boleh diam.” HRD pucat, kamera merekam, dan satu per satu dokumen itu dikembalikan. Video sidak itu diunggah ke akun TikTok @immanuelebenezerofficial, ditonton 3,7 juta kali, disukai ratusan ribu orang, dan dibanjiri komentar: “Pencitraan? Lebih baik begitu, asal hak buruh dipulangkan.”
Setelah itu, sidak menjalar. Malang, Yogyakarta, Depok, Bekasi, dan kota-kota industri lainnya menjadi saksi Ijazah dikembalikan hingga akhir Juli. Noel membawa Surat Edaran (SE) Menaker M/5/HK.04.00/V/2025, yang ditandatangani 20 Mei 2025, sebagai senjata administratif: pengusaha dilarang menahan ijazah, paspor, buku nikah, dan sertifikat kompetensi pekerja. Pelanggaran berulang akan diproses pidana berdasarkan Pasal 137 UU No. 13/2003.
Bagi buruh, momen itu lebih dari sekadar administratif. Ijazah bukan sekadar kertas, tapi pintu harapan. Saat Noel menyerahkan kembali dokumen-dokumen itu, wajah-wajah yang lama tunduk seperti mendapatkan wisuda kedua.
*Mengoyak Tirani Umur, Merangkul Difabel*
Di Forum Diskusi Kemnaker, Noel menyebut syarat batas usia dalam iklan lowongan kerja sebagai “tirani sunyi yang membunuh harapan.” Dari forum itu lahirlah SE Menaker M/6/HK.04/V/2025, yang melarang batas usia, kriteria fisik “good looking”, dan diskriminasi terhadap penyandang disabilitas kecuali benar-benar relevan dengan pekerjaan.
Data BPS 2023 menunjukkan, pekerja disabilitas hanya 0,55% dari angkatan kerja nasional (sekitar 764 ribu orang). Angka keterlibatan perempuan di pasar kerja formal pun stagnan di angka 46%. Noel menargetkan kuota UU No. 8/2016, 1% pekerja disabilitas di swasta, 2% di BUMN. Di media sosial, kampanye ini hidup. Tagar #KerjaTanpaBatas digunakan lebih dari 68 ribu kali di Instagram dan Reels dalam dua bulan. Di tengah algoritma yang sering mengabaikan isu-isu serius, gaung itu menjadi penanda bahwa negara tidak boleh membiarkan pintu rezeki tertutup hanya karena angka umur atau kursi roda.
*Jobs – Skills – Safety Compact: Menjahit Luka Tiga Simpul*
Dalam setiap kesempatan Noel menguraikan luka ketenagakerjaan Indonesia menjadi tiga simpul besar: Jobs, Skills, dan Safety.
• Jobs: 59,4% tenaga kerja masih informal (86,58 juta orang; BPS, Februari 2025). Noel mendorong penciptaan Balai Latihan Kerja komunitas dan program padat karya hijau.
• Skills: 42% pekerja lulusan SMA atau lebih rendah, tertinggal menghadapi industri 4.0. Noel menggulirkan sertifikasi digital dan pelatihan micro-credential.
• Safety: 92 kasus kematian kerja di industri tekstil sepanjang 2024.
Konsep ini disatukan dengan doktrin “Pengusaha dan Buruh Patriotik.” Noel menolak narasi klasik buruh vs kapital. Baginya, keduanya adalah pilar republik: modal yang adil dan keringat yang berdedikasi harus bersatu untuk membangun kedaulatan industri.
Pengusaha memuji narasi sebagai “penyejuk tensi hubungan industrial pasca-pandemi.” Di forum Tripartit Nasional, Noel menegaskan: “Patriotisme bukan hanya di medan perang. Patriotisme juga ada di pabrik dan kantor, ketika buruh dan pengusaha sepakat memajukan bangsa tanpa saling mencederai.”
Paradoks hidup Noel mencapai puncaknya saat ia menggagas . Bagi Noel, luka masa lalu tidak boleh menjadi alasan melahirkan luka baru. Luka harus menjadi jembatan, bukan jurang.
*Epilog: Lentera di Lorong Gelap*
Di laci meja kerjanya, Noel menyimpan dua benda, surat sidak bertanda tangan Menaker dan foto seorang buruh memeluk ijazahnya – senyumnya seperti anak yang baru lulus sekolah. Malam hari, dalam sunyi kementerian, ia menulis di buku catatan:
“Kekuasaan tanpa empati hanya memperpanjang barak kuda. Empati tanpa keberanian hanya menambah air mata. Di simpang keduanya, negara menemukan wajahnya.”
Sejarah mungkin akan mencatat Noel dengan kontroversi, sikapnya pada Munarman, langkahnya yang keras di pabrik, narasinya tentang polisi dan buruh. Tetapi bagi 311 buruh yang ijazahnya dikembalikan, bagi para difabel yang kini melamar kerja tanpa dihantui angka umur, dan bagi keluarga yang makan malam karena sedekah diam-diam, Noel bukan sekadar pejabat. Ia adalah lentera di lorong yang lama gelap.
“Keadilan bukan hadiah; ia direbut manusia.” Noel memilih menyalakan lentera itu, meski angin politik terus mengguncangnya. Di sela waktu, “Maafkanlah, tetapi tetaplah bersuara bagi mereka yang tak bersuara.”