Lampung Timur, MERATA.ID – dugaan salah tangkap yang menimpa M. Umar di Lampung Timur terus menjadi sorotan publik dan menimbulkan keprihatinan luas.
M. Umar, yang kini mendekam di Rutan Sukadana sebagai tahanan, diduga menjadi korban dari rangkaian proses hukum yang tidak akurat dan sarat kejanggalan.
Ketua Sekretariat Bersama Wartawan Indonesia (SWI) Provinsi Lampung, Melanni, yang aktif mengikuti jalannya persidangan, menyuarakan keprihatinan mendalam terhadap proses hukum yang menjerat M. Umar.
Berdasarkan fakta persidangan, bukti-bukti yang disampaikan, serta hasil investigasi tim SWI, Melanni menuding adanya kesalahan fatal dalam tahapan penyelidikan dan penyidikan yang dilakukan oleh 12 oknum penyidik Polres Lampung Timur.
“Bukti-bukti yang ada seharusnya cukup untuk menggugurkan dakwaan terhadap M. Umar. Tapi mengapa proses hukum ini masih berjalan? Ini menjadi pertanyaan besar yang tak boleh diabaikan,” tegas Melanni.
Tak hanya itu, dugaan kelalaian juga menyasar pihak kejaksaan. Pembatalan eksepsi oleh pengadilan baru-baru ini diduga merupakan akibat dari ketidaktelitian jaksa saat menerima berkas perkara tahap dua (P-21).
Kelalaian tersebut membuka ruang bagi dilimpahkannya perkara ke pengadilan tanpa telaah yang matang, memperkuat dugaan bahwa proses hukum terhadap M. Umar terkesan dipaksakan.
Melanni menyatakan bahwa SWI akan membentuk tim pemberitaan dan investigasi yang akan terus mengawal kasus ini hingga tuntas.
“Kami tidak akan diam. Kami akan pastikan kasus ini mendapat perhatian publik dan penegak hukum di tingkat lebih tinggi,” katanya.
Langkah Hukum ke Pengadilan HAM
Upaya hukum juga terus dilakukan oleh tim kuasa hukum M. Umar. Moch. Ansory, Ketua Umum Yayasan Amanat Perjuangan Rakyat Malang (AMPERA MALANG/YAPERMA), yang kini menjadi kuasa hukum M. Umar, menegaskan bahwa pihaknya akan membawa kasus ini ke ranah yang lebih tinggi.
“Berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, kami akan mengajukan perkara ini ke Polda Lampung dan bahkan ke Pengadilan HAM di Jakarta,” tegas Ansory.
Selain kejanggalan dalam proses hukum, Ansory juga menyoroti perbedaan identitas antara dakwaan dan dokumen resmi kliennya.
Dalam dakwaan, nama M. Umar ditulis sebagai Muhammad Umar bin Abu Tholib, padahal dalam identitas resminya hanya tertulis “M. Umar”. Menurutnya, perbedaan ini adalah kekeliruan serius yang seharusnya cukup untuk membatalkan dakwaan.
Payung Hukum Perlindungan Korban Salah Tangkap
Indonesia memiliki perangkat hukum yang secara tegas melindungi hak asasi manusia dan korban kekeliruan penegakan hukum. Dua undang-undang utama yang mengatur hal ini adalah:
Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang menjamin hak setiap warga negara atas perlindungan hukum.
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, yang mengatur tentang pelanggaran HAM berat dan prosedur pengadilannya.
Pasal 9 ayat (1) dan (2) UU No. 39 Tahun 1999 menyebutkan bahwa setiap orang yang ditangkap, ditahan, atau diadili tanpa alasan yang sah atau akibat kekeliruan hukum, berhak mendapatkan ganti rugi dan rehabilitasi.
Bahkan, pejabat yang dengan sengaja melakukan hal tersebut dapat dipidana sesuai hukum yang berlaku
Kini, perjuangan M. Umar untuk memperoleh keadilan belum selesai. Kasus ini akan menjadi ujian nyata bagi wajah hukum Indonesia: akankah kebenaran ditegakkan, atau justru dikubur oleh kelalaian dan kekuasaan?.