MERATA.ID – Maraknya kasus yang dipicu oleh judol (judi online) terus menjadi sorotan berbagai pihak. Dalam wawancara yang disiarkan di acara editorial Media Indonesia Jumat (08/11/2024), Kepala Biro Humas Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Natsir Kongah, dan anggota Dewan Media Group Gaudensius Suhardi, membahas dampak serius dari judi online dan pentingnya kolaborasi nasional untuk memberantasnya.
PPATK: Pecandu Habiskan 70% Penghasilan, Judi Rusak Stabilitas Sosial
Dalam wawancara yang dilakukan melalui sambungan telepon, Natsir Kongah menyampaikan data mengkhawatirkan tentang kerugian yang dialami pecandu judi online. “Sebanyak 70% penghasilan pecandu judi habis untuk membiayai kebiasaan berjudi mereka,” ungkap Natsir. Selain itu, ratusan miliar rupiah yang berputar dalam industri judi online sebagian besar tidak kembali ke kantong pengguna, dengan hanya 0,07% dari uang tersebut yang kembali kepada mereka. Sebaliknya, sebagian besar keuntungan mengalir ke bandar.
Natsir menegaskan bahwa kebiasaan ini tidak hanya berdampak pada ekonomi individu, tetapi juga menghancurkan keharmonisan rumah tangga dan kesehatan mental para pelakunya. “Kami di PPATK telah menerima banyak respons positif dari berbagai lembaga negara yang siap mendukung pemberantasan judi online. Kami juga siap menyediakan data yang diperlukan untuk analisis lebih lanjut demi mengurai aliran dana yang terlibat,” tambahnya. Natsir berharap masyarakat terus meningkatkan kewaspadaan dan bekerja sama untuk mengurangi dampak buruk judi online ini.
Gaudensius Suhardi: Perlu Menyasar Jaringan Bandar, Jangan Hanya Pemain
Sementara itu, Gaudensius Suhardi yang hadir secara langsung di acara tersebut menyoroti pola adiktif dari judi online. “Judi online dirancang untuk membuat penggunanya terus bermain, baik ketika kalah maupun menang. Ini yang membuatnya berbahaya, karena begitu mudah menjerat orang yang sudah terpapar,” jelas Gaudensius. Ia menekankan bahwa tindakan hukum sejauh ini lebih banyak menyasar para pemain kecil daripada jaringan bandar yang berada di balik operasi besar judi online.
Menurut Gaudensius, ekosistem judi online memiliki tiga komponen penting yang seharusnya menjadi fokus penegakan hukum: keamanan internet yang dikelola penyedia platform, rekening penampung yang memudahkan transaksi ilegal, dan jaringan perlindungan operasional yang berpotensi melibatkan pihak-pihak tertentu. “Ketiga komponen ini harus disasar secara menyeluruh. Judi online adalah kejahatan yang sudah masuk ke dalam kategori pidana, dan penanganannya seharusnya tidak hanya menyasar pemain kecil saja,” ujar Gaudensius.
Ia juga menyoroti bahwa pengguna judi online kini sudah menyasar kalangan mahasiswa, ibu rumah tangga, hingga anak di bawah umur. “Pengguna di bawah umur bahkan sudah mencapai hampir 2%. Hal ini membuktikan bahwa judi online kini merambah ke kelompok rentan yang sangat membutuhkan perlindungan,” jelasnya. Gaudensius juga menyoroti peran influencer dan selebritas yang turut mempromosikan judi online, tetapi sering kali luput dari tindakan hukum.
Kolaborasi dengan Tokoh Agama dan Pendidik untuk Perang Melawan Judi Online
Baik Natsir maupun Gaudensius sepakat bahwa upaya negara dalam memberantas judi online membutuhkan dukungan penuh dari masyarakat. Gaudensius mengusulkan agar pemerintah menjalin kerja sama dengan tokoh agama dan pendidik dalam menyebarkan kampanye bahaya judi online. Tujuannya agar masyarakat memahami bahwa judi online bukanlah cara cepat untuk meraih keuntungan, tetapi jalan yang dapat merugikan secara finansial dan psikologis.
“Pemberantasan judi online hanya akan berhasil jika kita semua bersatu. Pemerintah sudah menunjukkan keseriusannya, namun butuh dukungan semangat dan kesadaran dari masyarakat,” tutup Natsir Kongah, mengajak semua pihak untuk terlibat dalam memerangi ancaman judi online yang terus membayangi masyarakat.