Lampung Selatan, MERATA.ID – Ribuan kepala keluarga di Perumahan Permata Asri, Desa Karang Anyar, Kecamatan Jati Agung, Lampung Selatan, selama puluhan tahun hidup dalam bayang-bayang krisis air bersih yang tak kunjung usai.
Ironisnya, kondisi memprihatinkan ini terjadi di tengah kewenangan penuh Perusahaan Umum Daerah Air Minum (Perumda) Tirta Jasa yang seharusnya menjadi solusi utama.
Sejak awal pemasangan sambungan air, warga dikenai biaya hingga Rp1,5 juta per rumah. Namun, pembayaran tersebut dilakukan secara langsung ke kantor unit tanpa menggunakan sistem resmi berbasis ID pelanggan.
Selanjutnya, warga membayar iuran bulanan sebesar Rp54.000, tetapi transaksi ini pun diduga tidak tercatat secara transparan dalam sistem keuangan daerah.
“Pembayaran kami dari dulu tidak pakai ID pelanggan. Hanya setor ke petugas di kantor unit. Tapi airnya nyaris tak pernah layak,” ujar salah satu warga, yang enggan disebutkan namanya.
Dengan jumlah warga mencapai sekitar 3.000 kepala keluarga, potensi kebocoran Pendapatan Asli Daerah (PAD) dari sektor ini diperkirakan bisa mencapai miliaran rupiah jika diakumulasi selama lebih dari satu dekade.
Lebih menyakitkan, layanan yang diterima warga sangat jauh dari kata layak. Aliran air hanya hidup dua hari sekali, tanpa jadwal pasti, dan itupun hanya mengalir sekitar satu jam, sering kali kurang.
Warga terpaksa berebut air, menggunakan mesin pompa tambahan untuk menarik air dari jaringan, sementara sebagian lainnya mengandalkan sumur bor dengan kedalaman hingga 100 meter yang tetap tak mencukupi.
Dalam keadaan terdesak, banyak warga bahkan harus membeli air galon seharga Rp3.000 per galon atau Rp60.000 per 1.000 liter, sebuah pengeluaran tambahan yang mencekik di tengah krisis air yang seharusnya tidak terjadi.
Situasi bertambah pelik ketika pihak PDAM memperkenalkan skema distribusi alternatif berupa pemasangan jaringan pipa paralon. Skema ini mewajibkan warga membayar Rp3 juta untuk biaya awal, serta iuran bulanan sebesar Rp80.000.
Kepala Unit PDAM setempat, Sutarno, membenarkan keberadaan skema ini dan menyebutnya sebagai “solusi percepatan distribusi air bersih.” Namun bagi warga, ini justru memperkuat kesan bahwa akses air bersih dikomersialkan dan hanya bisa didapat dengan membayar lebih mahal.
“Kenapa kami harus membayar dua kali untuk sesuatu yang seharusnya sudah menjadi hak dasar kami? Ini tidak adil,” tegas seorang warga lainnya.
Warga mendesak Pemerintah Kabupaten Lampung Selatan dan aparat penegak hukum untuk segera turun tangan. Mereka menuntut investigasi menyeluruh terhadap dugaan pungutan liar, praktik maladministrasi, dan potensi kebocoran PAD yang diduga telah berlangsung selama bertahun-tahun tanpa pengawasan berarti.
Fenomena ini menjadi cermin buram lemahnya tata kelola pelayanan publik di daerah. Ketika air bersih menjadi kebutuhan paling mendasar dan komoditas mahal penuh celah penyimpangan, maka sudah saatnya dilakukan evaluasi total dan penegakan hukum yang nyata.
“Kami bukan minta yang muluk-muluk. Kami hanya ingin air bersih, yang seharusnya menjadi hak kami sebagai warga,” tutup warga penuh harap. (TIM)