Jakarta, MERATA.ID — Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) berhasil memenangkan gugatan perdata atas kasus kebakaran lahan yang melibatkan PT Banyu Kahuripan Indonesia (PT BKI). Perusahaan perkebunan sawit itu dijatuhi hukuman membayar ganti rugi lingkungan hidup sebesar Rp282,8 miliar secara tunai melalui Rekening Kas Negara.
Putusan tersebut dijatuhkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Tinggi Jakarta pada 8 Juli 2025. Dalam perkara ini, majelis hakim menerapkan prinsip kehati-hatian (precautionary principle) dan pertanggungjawaban mutlak (strict liability), yang selama ini menjadi landasan penting dalam penegakan hukum lingkungan di Indonesia.
Deputi Penegakan Hukum KLH, Rizal Irawan, menyampaikan apresiasinya terhadap putusan tersebut.
“Putusan ini menjadi pembelajaran penting bagi para pelaku usaha agar tidak membuka atau mengelola lahan dengan cara membakar. Siapa pun yang membakar atau membiarkan lahannya terbakar tetap harus bertanggung jawab penuh,” tegas Rizal, Sabtu (12/07/25).
Kasus ini bermula dari kebakaran hebat yang terjadi pada 2023 di Desa Karang Agung, Kabupaten Musi Banyuasin, Sumatera Selatan. Lahan seluas 3.365,64 hektare yang dikelola PT BKI dilaporkan terbakar, menyebabkan kerusakan parah pada ekosistem, polusi udara, hilangnya keanekaragaman hayati, hingga mengganggu komitmen Indonesia dalam agenda perubahan iklim, termasuk target FOLU Net Sink 2030.
Dalam gugatan awal yang diajukan KLH pada 18 Oktober 2024 di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, negara menuntut ganti rugi materiil sebesar Rp355,7 miliar dan biaya pemulihan lingkungan senilai Rp960,2 miliar.
Meski Pengadilan Tinggi mengabulkan sebagian gugatan tersebut, nilai putusan sebesar Rp282,8 miliar tetap dinilai sebagai langkah penting dalam penegakan hukum lingkungan hidup.
Salah satu poin menarik dalam putusan ini adalah pendapat berbeda (dissenting opinion) dari Hakim Anggota Majelis II, Ida Bagus Dwi Yantara. Ia menyampaikan bahwa pemulihan lingkungan tidak boleh dibatasi hanya pada area gambut, tetapi harus mencakup seluruh lahan bekas terbakar.
“Pemulihan tidak bisa hanya menyasar tanah gambut. Seluruh lahan yang terbakar wajib dipulihkan tanpa kecuali,” kata Ida Bagus.
Pendapat tersebut sejalan dengan keterangan ahli kerusakan lingkungan, Prof. Basuki Wasis. Ia menekankan bahwa kerusakan pada ekosistem gambut akibat pembakaran bersifat irreversible atau tidak dapat dipulihkan secara sempurna.
“Pembukaan lahan dengan cara membakar telah mengakibatkan kerusakan lingkungan yang serius, termasuk pada ekosistem gambut yang tidak bisa dikembalikan seperti semula,” ujar Basuki.
KLH menegaskan bahwa kasus ini menjadi preseden penting dalam penegakan hukum terhadap pelaku usaha yang lalai atau sengaja merusak lingkungan. (Ant/MRA)