Eskalasi Kasus Dugaan Kejahatan Korporasi PT Sugar Group Companies (SGC) & Skandal CSR Bank Indonesia

MERATA.ID

Kasus PT Sugar Group Companies (SGC) semakin menyeruak pasca penggeledahan kediaman Purwanti Lee, pimpinan SGC, oleh Kejaksaan Agung (Kejagung).

Dewan Pimpinan Pusat Aliansi Komunitas Aksi Rakyat Lampung (Akar Lampung) mendesak agar Kejagung segera menggeledah seluruh unit usaha SGC di Lampung, termasuk PT Indo Lampung Perkasa, PT Sweet Indo Lampung, PT Gula Putih Mataram, serta PT Indolampung Distillery.

Desakan ini berangkat dari dugaan keterlibatan Purwanti Lee dalam kasus pencucian uang (TPPU) terkait mantan pejabat Mahkamah Agung, Zarof Ricar, yang disebut menerima suap puluhan miliar rupiah dari SGC.

Selain dugaan suap, aliansi sipil menyoroti:

  • Pelanggaran HGU: Luas lahan SGC disebut jauh melebihi izin resmi.
  • Pengemplangan pajak & izin air tanah: Diduga menimbulkan kerugian negara triliunan rupiah.
  • Konflik agraria: Penyerobotan tanah adat, ulayat, dan desa, serta praktik penggunaan Pamswakarsa yang kerap berujung kekerasan.
  • Alih fungsi lahan gambut & pencemaran lingkungan: Melanggar aturan kehutanan.

Aksi Massa di Jakarta

Pada 11 Juni 2025, tiga aliansi Lampung—AKAR, KERAMAT, dan PEMATANK—melakukan aksi serentak di Kejagung RI dan KPK.

  • Di Kejagung, mereka menuntut pengusutan skandal suap, penyerobotan lahan, dan pengemplangan pajak oleh SGC.
  • Di KPK, mereka menekan agar kasus dugaan korupsi CSR Bank Indonesia senilai Rp1,6 triliun segera dituntaskan. Dana CSR itu diduga dialihkan ke yayasan fiktif dan dipakai untuk kepentingan kampanye politik, termasuk menyeret tiga anggota DPR RI dari Dapil Lampung.

Mereka memberi ultimatum 14 hari kepada KPK untuk menetapkan tersangka, dengan ancaman aksi lanjutan.

Gelombang Aksi Lanjutan

  • 25 Juni 2025: Massa kembali menggelar aksi di Kejagung dengan membawa dokumen investigasi. Aliansi menuding adanya suap, penguasaan lahan ilegal, pengemplangan pajak, hingga kedekatan SGC dengan elit politik yang membuat hukum “tumpul ke atas, tajam ke bawah”.
  • 2 Juli 2025: Aliansi menghadiri RDPU di DPR RI bersama Komisi II. Mereka menyerahkan data dugaan pencaplokan lahan SGC yang melebihi HGU resmi. Pemprov Lampung dan kepala daerah juga mengeluhkan minimnya kontribusi pajak SGC.
  • 9 Juli 2025: Dalam rapat kerja DPR dengan Kementerian ATR/BPN, disepakati agar dilakukan pengukuran ulang lahan SGC. Biaya ukur ulang diminta ditanggung negara karena menyangkut kepentingan rakyat.
  • 15 Juli 2025: Komisi II DPR RI secara resmi memerintahkan Kementerian ATR/BPN mengukur ulang HGU SGC. Data yang simpang siur—mulai dari 72 ribu hektare hingga 141 ribu hektare—memperkuat dugaan adanya pelanggaran.

Aliansi menegaskan, pengukuran ulang adalah “harga mati” untuk membuka tabir penguasaan tanah, pajak, hingga pelanggaran hukum lain oleh SGC.

Ultimatum Terbaru

Pada 20 Juli 2025, aliansi mengultimatum Kementerian ATR/BPN dan Kanwil BPN Lampung agar hasil verifikasi HGU SGC rampung dalam dua minggu dan dibuka secara transparan di forum DPR RI. Mereka menuntut pihak SGC dihadirkan langsung ke parlemen. Jika tidak, mereka mengancam akan menggelar aksi besar mengepung kantor ATR/BPN di Jakarta.

Perkembangan Skandal CSR BI

Sejalan dengan kasus SGC, aliansi Lampung juga terus menyoroti penyalahgunaan dana CSR Bank Indonesia. Tekanan mereka berbuah hasil ketika KPK menetapkan dua anggota DPR RI Komisi XI periode 2019–2024 sebagai tersangka pada pertengahan Juli 2025.

Aliansi AKAR, PEMATANK, dan KERAMAT menyatakan dukungan penuh terhadap langkah KPK, sekaligus menuntut agar seluruh anggota DPR Komisi XI, termasuk tiga wakil Lampung, diperiksa karena diduga ikut menikmati dana CSR yang seharusnya untuk UMKM dan beasiswa rakyat.

Kasus PT SGC dan skandal CSR BI kini menjadi isu hukum, politik, sekaligus agraria terbesar yang menyeret Lampung ke panggung nasional. Gelombang aksi sipil yang konsisten dari Lampung ke Jakarta membuat isu ini sulit diabaikan. Tiga aliansi AKAR, PEMATANK, dan KERAMAT berhasil mendorong DPR RI, Kejagung, hingga KPK mengambil langkah konkret, meski publik masih menunggu apakah proses hukum benar-benar ditegakkan tanpa kompromi terhadap oligarki. (*)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *