Di tengah hiruk-pikuk perlawanan terhadap narkoba, seorang aktivis lokal tiba-tiba menjadi sorotan. Namanya mencuat setelah lantang memimpin aksi demonstrasi menyoal pembebasan tersangka kasus narkoba oleh sebuah instansi hukum.
Aksi itu bukan sekadar orasi biasa, melainkan tamparan keras terhadap lembaga yang dituding memberi ruang bagi “permainan” hukum, terlebih kasus tersebut menyeret nama sebuah tempat usaha milik pengusaha ternama di daerah itu.
Namun, selang tak lama, publik dikejutkan dengan kabar penangkapan sang aktivis. Tuduhannya: pemerasan terhadap sebuah rumah sakit milik pemerintah. Narasi hukum seolah bergulir begitu cepat.
Tetapi kejanggalan segera muncul ketika pihak rumah sakit yang disebut sebagai korban justru menyatakan tidak pernah merasa melapor. Lebih jauh, ada pihak yang menyebut sang aktivis memang sudah lama menjadi “target”.
Pertanyaan pun bergulir: target seperti apa? Apakah penangkapan ini murni akibat dugaan tindak pidana, ataukah merupakan buah dari keberaniannya mengkritik keras aparat hukum?
Sejumlah kolega sesama aktivis menilai penangkapan itu bukan kebetulan. “Dia sudah sering sekali vokal, apalagi soal kasus narkoba kemarin. Bisa jadi ini cara membungkam,” ujar salah satu rekannya. Dugaan kriminalisasi pun menguat.
Di sisi lain, aparat berdalih proses hukum berjalan sebagaimana mestinya. Tuduhan pemerasan tetap disorot sebagai tindak pidana yang harus diusut.
Namun, di balik klaim prosedural itu, publik masih menyimpan rasa curiga: apakah hukum sedang bekerja, atau justru sedang dipakai untuk membungkam?
Kasus ini kini menjadi bahan perbincangan luas. Sang aktivis yang sebelumnya berdiri di garis depan melawan narkoba, kini justru terjerat kasus berbeda yang membuatnya kehilangan ruang bebas untuk bersuara.
Sementara itu, instansi yang sempat didemo tetap bungkam, seakan kasus ini mengalihkan perhatian dari pertanyaan utama: siapa yang diuntungkan dengan diamnya suara seorang aktivis?