Oleh: Penta Peturun
Ketika Amerika, China, dan modal dunia menatap Indonesia sebagai hadiah terbesar abad ini, pilihan bangsa ini hanya dua, menjadi tuan rumah atau menjadi ruang yang diperebutkan. Ada masa ketika bangsa ini berdiri sebagai ladang yang dipanen orang lain. Kita mengenal masa itu sebagai kolonialisme. Namun kolonialisme tak pernah benar-benar pergi. Ia hanya berganti rupa, dari meriam dan kapal menjadi investasi, standar hijau, pasokan pangan, teknologi digital, dan data yang mengalir tanpa batas.
Pada tahun-tahun ini, Indonesia kembali berdiri di tengah tarik-menarik dua kekuatan besar; Amerika dan China. Keduanya datang dengan senyum ramah, tetapi juga dengan kepentingan yang tajam. Mereka tidak datang untuk menolong. Mereka datang karena membutuhkan kita.
Karena data dunia menunjukkan. Indonesia memiliki 25% cadangan nikel dunia. Memiliki 6,1 juta hektare potensi energi surya dan angin. Memiliki 74.961 desa, yang bila dikonsolidasikan ekonominya, menjadi pasar internal terbesar di Asia Tenggara. Memiliki usia median 29 tahun, jauh lebih muda dari Amerika (38 tahun), China (39 tahun), dan Jepang (48 tahun). Indonesia berada di jalur perdagangan yang mengalirkan 40% logistik dunia.
Negara yang Sedang Menegakkan Dirinya.
Pemerintahan hari ini membangun lima fondasi; (1). Makan Bergizi Gratis (MBG), berupaya memberi makan 82 juta anak setiap hari. Dalam setahun, negara harus menyiapkan 2,4 juta ton beras, 1,1 juta ton ayam, 900 ribu ton telur dan ratusan ribu ton sayur. Ini bukan hanya program sosial. Ini adalah pertarungan kedaulatan pangan.
(2). Sekolah Rakyat. Dalam 10-20 tahun mendatang, Indonesia membutuhkan 9 juta tenaga digital baru, 3 juta insinyur energi, 2-3 juta teknisi kendaraan listrik, 4 juta pekerja logistik terpadu, lebih dari 7 juta tenaga AI dan data. (3). Penguatan Koperasi. 74.961 desa, 42% masyarakat bekerja di sektor informal, 63% UMKM tidak terhubung ke lembaga pembiayaan. Indonesia kehilangan Rp 223 triliun potensi ekonomi desa setiap tahun. Lebih dari 70% pangan strategis bersumber dari desa jika koperasi desa kuat, rantai pasok kita mandiri. Jika koperasi lemah, maka desa menjadi pasar yang tunduk pada harga digital dari perusahaan luar. (4). Danantara, memiliki aset saat ini mencapai sekitar US$1 triliun atau sekitar Rp16.500 triliun. Jikalau dikelola baik, dapat alat kedaulatan finansial, penahan guncangan global, pemberi modal jangka panjang bagi industri strategis. Tetapi jika salah kelola, ia dapat menjadi ruang gelap bagi elite dan kepentingan luar negeri. Negara-negara kaya ingin memastikan bahwa Danantara tidak mengancam posisi mereka. Karena itu permainan diplomasi, tekanan regulasi, dan narasi ekonomi akan datang. (5). Penertiban lahan serta tambang. Indonesia memiliki 5 juta hektare lahan tumpang tindih, lebih dari 2.000 tambang ilegal, 350 ribu hektare wilayah kunci yang masih dikuasai non-produktif memiliki potensi mineral US$ 1,4 triliun
Bila kekayaan ini tidak dikendalikan negara, maka negara hanya menjadi penonton dari kekayaan yang mengalir keluar. Lima fondasi ini menentukan apakah Indonesia menjadi subjek atau objek dalam percaturan abad ini. Program MBG, memerlukan lebih dari 2,4 juta ton beras dan 1,1 juta ton ayam per tahun. Jika pasokan diambil dari petani dan UMKM, desa hidup kembali. Tapi bila impor membesar, maka kapal-kapal asing kembali menentukan harga di piring anak-anak bangsa. Indonesia juga memiliki 74 ribu desa, masing-masing dapat menjadi benteng ekonomi. Bila koperasi merah putih berjalan, harga pangan ditentukan rakyat, bukan algoritma asing. Bila tidak, desa kembali berubah menjadi korban permainan pasar global. Di sisi lain, penertiban lebih dari 5 juta hektare lahan bermasalah dan ratusan tambang ilegal menjadi syarat dasar kedaulatan ekonomi. Tanah adalah tubuh bangsa. Siapa menguasai tanah, menguasai masa depan.
Dunia yang sedang berebut Indonesia. Dunia hari ini tidak sama dengan satu dekade lalu. Data menjadi minyak baru. Teknologi menjadi senjata geopolitik. Laut menjadi jalur pertarungan. Amerika membutuhkan Indonesia untuk menyeimbangkan China di Indo-Pasifik. China membutuhkan nikel Indonesia untuk mempertahankan industri baterai dan kendaraan listriknya. Uni Eropa menekan lewat isu iklim. Jepang dan Korea melalui rantai pasok industri. Timur Tengah melalui investasi energi dan logistik. Masing-masing punya kepentingan mendalam. Dan Indonesia berada di tengahnya. Bukan sebagai penonton, tetapi sebagai hadiah.
Ancaman terbesar sesungguhnya Indonesia bukan Amerika atau China. Ancaman terbesar Indonesia adalah Indonesia sendiri. Risiko korupsi tinggi, birokrasi lambat, kebocoran data berulang, impor pangan yang tidak perlu, dan ketergantungan energi yang belum tuntas. Semua ini memperlemah posisi kita di meja dunia. Bangsa yang besar bisa runtuh bukan karena diserang musuh, tetapi karena lengah mengurus dirinya sendiri.
Menjadi Tuan di Negeri Sendiri
Namun Indonesia tidak kekurangan kesempatan. Bila lima fondasi itu dijaga, bila koperasi hidup, bila sekolah menghasilkan anak-anak berdaulat, bila Danantara tidak menjadi pesta elite, bila tanah dan tambang kembali dalam kendali negara, maka Indonesia memasuki era baru: era kekaisaran penyeimbang. Indonesia tidak perlu memerintah dunia. Indonesia hanya perlu membuat dunia menghitung langkahnya.
Abad ini menunggu keputusan kita. Pada akhirnya, sejarah hanya memberi dua pilihan; bangsa yang menentukan nasibnya atau bangsa yang ditentukan orang lain. Indonesia terlalu kaya untuk dibiarkan lemah. Terlalu besar untuk dibiarkan berjalan sendiri tanpa arah. Terlalu penting bagi dunia untuk tidak berebutkan.
Dan kini, ketika Amerika dan China saling menatap, ketika modal dunia bergerak tanpa suara, Indonesia kembali ditanya. Kita mau berdiri atau diperintah?. Sejarah tidak menunggu. Ia hanya lewat sekali. Dan bangsa yang tidak siap, akan ditinggalkan oleh zaman yang terus berubah. (*)







